Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan. Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain. Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama. Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene. Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya. Jadi menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini. Ketika bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering. Suku Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka. Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia . Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik. Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Quote: Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain. | Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia. Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang disebutnya sebagai ‘Checklist’ (Silakan lihat di sini: http://atlan.org/articles/checklist/#checklist). Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia. Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun. Contoh kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita. Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya. “… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas menjadi yang di bawah ….” (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.
Profesor Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia? |
Belum ada tanggapan untuk "MENGUNGKAP Rahasia Misteri BENUA yang HILANG"
Posting Komentar